KESEHATAN REPRODUKSI
DISKRIMINASI GENDER
Disusun Oleh :
Novi Khoirotun Nisak (7210043)
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ’ULUM
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PRODI D-III KEBIDANAN
2010/2011
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas Etika.
Penyusunan
makalah ini merupakan tugas terstruktur dari mata kuliah Etiak pada PRODI D3
Kebidanan UNIPDU Jombang.
Dalam
penyusunan makalah ini penulis berusaha menyajikan sebuah karya dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan batas dan kemampuan yang saya miliki.
Pada
kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, saya mengucapkan terima kasih
kepada :
1.
Dr.
H.M. Zulfikar As’ad.MMR, selaku dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum.
2.
Hj.
Sabrina Dwi Prihatini.SKM, selaku Ka.Prodi D-III kebidanan Universitas
Pesantren Tinggi Darul Ulum.
3.
Vina
Zunita Simahera Amd.keb selaku dosen pembimbing Kesehatan Reproduksi D-III
Kebidanan tingkat 2010.
4.
Orang
tua penulis yang sangat mendukung dan selalu mensuport segala aktivitas yang
mendukung perkembangan akademik penulis.
5.
Teman-teman
D-III Kebidanan tingkat 2010 yang telah membantu melancarkan tugas pembuatan
makala ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih banyak kekurangan-kekurangan. Karena itu kami mengharap kritik dan saran
demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya penulis
mengharap makalah ini bermanfaat bagi penyusun sendiri dan bagi mahasiswa AKBID
pada umumnya.
Jombang, 20
Mei 2011
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hakekatnya, semua mahluk diciptakan
berpasangan. Pada manusia miasalnya, ada
laki-laki dan ada perempuan keduanya diciptakan dalam derajat, harkat, dan
martabat yang sama. Kalaupun memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda, itu semua
agar keduanya saling melengkapi. Namun dalam perjalanan kehidupan manusia,
banyak terjadi perubahan peran dan setatus atas keduanya, terutama dalam
masyarakat. Proses tersebut lama kelamaan menjadi kebiasaan dan membudaya.
B.
Tujuan
Masalah
- Apa pengertian
dari diskriminasi gender.
- Apa macam-macam
diskriminasi gender
- Memberikan
beberapa kasus-kasus diskriminasi gender.
- Faktor apa saja
yang menyebabkan diskriminasi gender
C.
Manfaat
1.
Dapat meningakatkan
pengetahuan, sikap, dan pemahaman tentang konsep dan teori gender.
2.
Dapat dijadikan bahan
pembelajaran
3.
Bermanfaat bagi
mahasiswa maupun dosen dalam mengembangakan program pembelajaran.
4.
Dan dapat mengetahui
beberapa kasus yang bersangkutan tentang diskriminasi gender
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Diskriminasi Gender
Gender itu berasal dari bahasa latin
“GENUS” yang berarti jenis atau tipe. Gender adalah sifat dan perilaku yang
dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun
budaya atau juga dapat diartikan perbadaan pearan, fungsi, dan tanggung jawab
antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi social dan dapat
berubah sesuai dengan perkemabangan jaman.
Menurut Ilmu Sosiologi dan Antropologi, Gender
itu sendiri adalah perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan
yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa
waktu tertentu pula. Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat.
Dari peran ataupun tingkah laku yang
diproses pembentukannya di masyarakat itu terjadi pembentukan yang
“mengharuskan” misalnya perempuan itu harus lemah lembut, emosional, cantik,
sabar, penyayang, sebagai pengasuh anak, pengurus rumah dll. Sedangkan
laki-laki harus kuat, rasional, wibawa, perkasa (macho), pencari nafkah dll.
Maka terjadilah ketidakadilan dalam kesetaraan peran ini. Proses pembentukan
yang diajarkan secara turun-temurun oleh orangtua kita, masyarakat, bahkan lembaga
pendidikan yang ada dengan sengaja atau tanpa sengaja memberikan peran
(perilaku) yang sehingga membuat kita berpikir bahwa memang demikianlah adanya
peran-peran yang harus kita jalankan. Bahkan, kita menganggapnya sebagai
kodrat.
Dari kecil kita telah diajarkan,
cowok akan diberikan mainan yang memperlihatkan kedinamisan, tantangan, dan
kekuatan, seperti mobil-mobilan dan pedang-pedangan. Sedangkan cewek diberikan
mainan boneka, setrikaan, alat memasak, dan lainnya. Ketika mulai sekolah
dasar, dalam buku bacaan pelajaran juga digambarkan peran-peran jenis kelamin,
contohnya, “Bapak membaca koran, sementara Ibu memasak di dapur”. Peran-peran
hasil bentukan sosial-budaya inilah yang disebut dengan peran jender. Peran yang menghubungkan pekerjaan dengan jenis
kelamin. Apa yang “pantas” dan “tidak pantas” dilakukan sebagai seorang cowok
atau cewek.
Sebenarnya kondisi ini tidak ada
salahnya. Tetapi akan menjadi bermasalah ketika peran-peran yang telah
diajarkan kemudian menempatkan salah satu jenis kelamin (baik cowok maupun
cewek) pada posisi yang tidak menguntungkan. Karena tidak semua cowok mampu
bersikap tegas dan bisa ngatur, maka cowok yang lembut akan dicap banci.
Sedangkan jika cewek lebih berani dan tegas akan dicap tomboi. Tentu saja hal
ini tidak enak dan memberikan tekanan.
ASPEK
|
LAKI-LAKI
|
PEREMPUAN
|
|
|
|
Ciri-ciri
gender :
- Bisa berubah
- Papat
dipertukarkan
- Tergantung musim
- Tergantung budaya
masing-masing
- Bukan kodrat
(buatan masyarakat)
Dari pengertian gender diatas dapat
disimpulakan bahwa diskriminasi gender adalah ketidakadilan gender yang
merupakan akibat dari adanya system (struktur) social dimana salah satu jenis
kelamin (laki-laki atau perempuan) menjadi korban.
Hal ini
terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang
peradaban manusia dalam berbagai bentuk dan cara yang menimpa kedua belah
pihak, walaupun dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak dialami oleh
perempuan.
Sebagai
refleksi hari Ibu 22 Desember, perlu kiranya memikirkan kembali kesehatan
reproduksi kaum ibu. Tingginya angka kematian ibu (AKI) kaitannya dengan
kesehatan reproduksi menandakan bahwa masih ada masalah besar dalam kesehatan kaum
ibu di Indonesia. data Depkes 2009, angka kematian ibu di Indonesia sebesar 248
per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi 26,9 per 1000 kelahiran
hidup sementara umur harapan hidup adalah 70,5 tahun.
Selama ini diperkirakan penyebabnya
adalah tingkat pendidikan kaum perempuan
yang sebagian besar masih rendah, tingkat diskriminasi gender (menomorduakan
perempuan) dalam kehidupan sosial, sehingga berujung pada tingkat kesehatan
yang masih rendah. Antara pendidikan dan kesehatan terkait erat karena untuk
hidup sehat harus memiliki seperangkat pengetahuan dasar yang cukup tentang
pola hidup bersih dan sehat, terutama dalam memilih makanan bergizi dengan
harga murah.
Meningkatkan kesehatan kaum ibu identik dengan membangun
masyarakat sebagai asset bangsa. Betapa tidak, jumlah anak-anak yang masih
dalam asuhan ibu dan perempuan pada umumnya akan menjadi generasi berkualitas
bila diasuh oleh seorang ibu/perempuan yang memiliki tingkat pengetahuan dan
tingkat kesehatan yang baik. Dengan demikian, kesehatan kaum ibu adalah salah
satu modal berharga dalam mengangkat harkat dan derajat kesehatan
bagi suatu negara.
Beberapa penyakit yang sering menyerang seputar organ
reproduksi dan sekaligus penyebab kematian kaum ibu/ kaum perempuan adalah
kanker leher rahim, kanker payudara, dan penyakit kelamin (terutama HIV/AIDS).
Dibandingkan dengan kaum pria, memang kaum ibu dan perempuan pada umumnya
sangat rentang dengan penyakit seputar organ reproduksi, ditambah lagi
kurangnya kepedulian dalam memelihara kesehatan pada organ reproduksi tersebut.
Selama ini pelayanan kesehatan bagi perempuan identik dengan
layanan kesehatan selama kehamilan dan melahirkan. Terlalu sering hamil dan
kelelahan akibat bekerja dapat mengakibatkan gangguan kesehatan. Ketika masa
kehamilan beberapa penyakit seringkali menghinggapi kaum ibu seperti malaria,
hepatitis, diabetes dan anemia yang berkontribusi pada gangguan kehamilan.
Beratnya penderitaan kaum ibu akibat kerentanan terhadap berbagai gangguan
penyakit mendorong perlunya perhatian besar melalui pemihakan kebijakan publik
dibidang kesehatan.
Kebijakan publik melalui Konvensi CEDAW kedalam UU No.
7 Tahun 1984 tidak banyak membantu kaum ibu dan perempuan pada umumnya untuk
berdaya dalam bidang kesehatan. Padahal pada Pasal 12 Konvensi CEDAW
menyatakan, bahwa negara wajib menghapus diskriminasi terhadap perempuan di
bidang pemeliharaan kesehatan. Negara kadang lalai dalam pemberian pelayanan
kesehatan berkaitan dengan kehamilan, sebelum dan sesudah persalinan serta
pemberian makanan yang bergizi agar bayi yang dikandungnya dapat tumbuh sehat
menjadi generasi cerdas kelak.
Hak reproduksi adalah hak untuk semua pasangan dan
individual untuk mendapatkan informasi dan pelayanan, menentukan/memutuskan dan
bertanggung jawab berkenaan dengan kehidupan seksual dan kesehatan
reproduksinya tanpa diskriminasi. Ada 8 komponen yang termasuk dalam kesehatan
reproduksi, yaitu: konseling tentang seksualitas, kehamilan, alat kontrasepsi,
aborsi, infertilitas, infeksi dan penyakit; pendidikan seksualitas dan jender;
pencegahan, skrining dan pengobatan saluran reproduksi, PMS, termasuk HIV/AIDS
dan masalah kebidanan lainnya; pemberian informasi yang benar sehingga secara
sukarela memilih alat kontrasepsi yang ada; pencegahan dan pengobatan
infertilitas; pelayanan aborsi aman; pelayanan kehamilan, persalinan oleh
tenaga kesehatan, pelayanan pasca kelahiran; pelayanan kesehatan untuk bayi dan
anak-anak.
Delapan komponen diatas dirumuskan
dalam perjanjian internasional kependudukan di Kairo pada bulan September 1994
yang diikuti perwakilan 184 negara bernama International Conference on
Population and Development (ICPD). Pertemuan internasional itu
mengangkat tema sentral kesehatan reproduksi dan hak-hak perempuan. Pelayanan
kesehatan reproduksi berhubungan dengan masalah seksualitas dan penjarangan
kehamilan sehingga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan perempuan dan
laki-laki.
Dalam konteks kesehatan masyarakat
dibedakan antara kesehatan reproduksi dengan kesehatan seksual. Kesehatan
seksual lebih luas cakupannya daripada kesehatan reproduksi meski sering
diidentikkan kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi. Kesehatan seksual pada
dasarnya menyangkut seluruh masa kehidupan seseorang, bukan hanya sepanjang
kurun reproduksi aktif saja. Oleh karena itu kesehatan seksual didefinisikan
sebagai suatu keadaan fisik, emosional, mental,dan kesejateraan sosial dalam
hubungan seksualitas, bukan hanya tidak adanya penyakit, disfungsi atau
kelemahan. Kesehatan seksual membutuhkan pendekatan positif dan penghargaan (penghormatan)
pada hubungan seksualitas dan seksual, dan juga kemungkinan mendapatkan
pengalaman seksual yang aman dan menyenangkan, bebas dari paksaan,
diskriminasi, dan kekerasan.
Pencegahan dan Pemeriksaan
Berdasarkan data Yayasan Kanker
Indonesia (YKI), 10 (sepuluh) jenis kanker paling banyak diderita di Indonesia
mendudukkan penyakit kanker rahim dan payudara dalam angka tertinggi, mencapai
4.283 dan 2.993 kasus. Data tersebut didapatkan berkat kerjasama
YKI dengan 13 (tiga belas) rumah sakit di Indonesia. Dari rangkuman pusat
patologi Indonesia tahun 1996, penderita kanker perempuan tercatat sebesar
15.439 orang, sedang lelaki hanya 8.441 orang. Bila dipresentasikan
makaperempuan menduduki 64,58 persen dibanding lelaki yang hanya 35,31 persen,
sedang 0,12 persen sisanya tidak diketahui jenis kelaminnya. Fakta ini
membuktikan kaum perempuan merupakan golongan paling berisiko terkena kanker
dibanding lelaki. YKI pun mengembangkan program bernama program SADARI, yaitu
periksa payudara sendiri.
Guna menanggulangi
dan menurunkan angka kematian ibu, secara individu kaum perempuan seharusnya
dapat melakukan langkah-langkah pencegahan berupa pemeriksaan organ
reproduksinya secara teratur. Misalnya melakukan pap smear sekali dalam setahun
untuk mencegah kanker.Pemeriksaan dilakukan 10-14 hari maksimal setelah menstruasi
/ setelah bersih, sedang hasil pemeriksaan dapat diterima dalam 4
hari. Pap smear adalah pengambilan cairan dalam rahim untuk mengetahui
apakah terdapat kanker stadium dini di rahim itu. Bila ditemukan indikasi awal,
maka bisa langsung diobati sebelum berkembang menjadi akut karena keterlambatan
pengobatan dapat berakibat fatal berupa ancaman kematian.
Sementara
untuk pemeriksaan kanker payudara terdiri atas dua macam yakni Mammography(pemeriksaan dengan sinar
X) dan Usgmamma (pemeriksaan payudara dengan cara sama seperti
USG, yaitu payudara diolesi dengan produk seperti gel). Mammography ini
ditujukan untuk usia 35 tahun keatas, karena dibawah usia tersebut jaringan
payudara masih padat dan sinar X tidak bisa menembus. Pemeriksaan dilakukan
setelah menstruasi. Usgmamma dilakukan 3 bulan / 6 bulan / 1 tahun
sekali dan tidak tergantung usia tertentu.
Menjaga dan mencegah penyakit kanker
pada organ reproduksi bisa dilakukan secara tradisional dan secara modern. Bila
memilih cara tradisional, beberapa upaya kesehatan yang bisa diterapkan adalah
berolahraga secara teratur, menghindari merokok, mengatur pola makan seimbang,
memasak makanan secara benar, dan menghindari begadang hingga larut
malam. Bila menggunakan cara modern adalah memanfaatkan jasa spa
treatment secara berkala. Dengan treatment pemijatan dapat melancarkan
peredaran darah dan membuat efek relaksasi. Disarankan memilih tempat Spa yang
terjamin kebersihannya serta memiliki tehnik pemijatan yang benar sehingga bisa
mendapat hasil yang maksimal.
B.
Konsep Perubahan Perilaku dan
Bentuk-Bentuk Diskriminasi Gender
Factor-
factor yang mempenagruhi manusia
- Konstruksi
biologis : berbeda cirri fisik perempuan dan laki-laki, serta tidak dapat
dipertukarkan karena produk alamiah (hormonal).
- Konstruksi
social : berbeda peran dan bertanggung jawab perempuan dan laki-laki dan
dapat dipertukarkan karena produk budaya (tata nilai)
- Konstruksi
Agama : berbeda posisi perempuan
dan Laki-laki, dan tidak dapat dipertukarkan karena ajaran agama
(dogmastis)
Bagaimana Bentuk-Bentuk Diskriminasi
Gender
- Marginalisasi
(peminggiran). Peminggiran banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Misalnya
banyak perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu bagus,
baik dari segi gaji, jaminan kerja ataupun status dari pekerjaan yang
didapatkan. Hal ini terjadi karena sangat sedikit perempuan yang
mendapatkan peluang pendidikan. Peminggiran dapat terjadi di rumah, tempat
kerja, masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber keyakinan,
tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu
pengetahuan (teknologi).
- Subordinasi
(penomorduaan), anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin,
cengeng dan lain sebagainya, mengakibatkan perempuan jadi nomor dua
setelah laki-laki.
- Stereotip
(citra buruk) yaitu pandangan buruk terhadap perempuan. Misalnya perempuan
yang pulang larut malam adalah pelacur, jalang dan berbagai sebutan buruk
lainnya.
- Violence
(kekerasan), yaitu serangan fisik dan psikis. Perempuan, pihak paling
rentan mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait dengan marginalisasi,
subordinasi maupun stereotip diatas. Perkosaan, pelecehan seksual atau
perampokan contoh kekerasan paling banyak dialami perempuan.
- Beban
kerja berlebihan, yaitu tugas dan tanggung jawab perempuan yang berat dan
terus menerus. Misalnya, seorang perempuan selain melayani suami (seks),
hamil, melahirkan, menyusui, juga harus menjaga rumah. Disamping itu,
kadang ia juga ikut mencari nafkah (di rumah), dimana hal tersebut tidak
berarti menghilangkan tugas dan tanggung jawab diatas.
Akibat Diskrimianasi
Berbagai bentuk diskriminasi
merupakan hambatan untuk tercapainya keadilan dan kesetaraan gender atau
kemitrasejajaran yang harmonis antara perempuan dan laki-laki, karena dapat
menimbulkan :
- Konflik
- Stres
pada salah satu pihak
- Relasi
gender yang kurang harmonis.
Memperjuangkan kesetaraan
Memperjuangkan kesetaraan bukanlah
berarti mempertentangkan dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Tetapi,
ini lebih kepada membangun hubungan (relasi) yang setara. Kesempatan harus
terbuka sama luasnya bagi cowok atau cewek, sama pentingnya, untuk mendapatkan
pendidikan, makanan yang bergizi, kesehatan, kesempatan kerja, termasuk
terlibat aktif dalam organisasi sosial-politik dan proses-proses pengambilan
keputusan.
Hal ini mungkin bisa terjadi jika
mitos-mitos seputar citra (image) menjadi “cowok” dan “cewek” dapat diperbaiki.
Memang enggak ada cara lain. Sebagai cowok ataupun cewek, kita harus menyadari
bahwa kita adalah pemain dalam kondisi (hubungan) ini. Jadi, untuk bisa
mengubah kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan ini, maka baik sebagai cowok
ataupun cewek kita harus terlibat.
Berkenaan dengan hal ini, pemerintah
Indonesia bahkan telah mengeluarkan Inpres no. 9 tahun 2001 tentang
Pengarus-Utamaan Gender (PUG), yang menyatakan bahwa seluruh program kegiatan
pemerintah harus mengikutsertakan PUG dengan tujuan untuk menjamin penerapan
kebijakan yang berperspektif jender.
Tetapi bagaimana kita sebaiknya memulainya ? mungkin
langkah-langkah ini dapat membantu
1 Bangun kesadaran diri
Hal pertama yang mesti kita lakukan
adalah membangun kesadaran diri. Ini bisa dilakukan melalui pendidikan. Karena
peran-peran yang menimbulkan relasi tak setara terjadi akibat pengajaran dan
sosialisasi, cara mengubahnya juga melalui pengajaran dan sosialisasi baru.
Kita bisa melakukan latihan atau diskusi secara kritis. Minta profesional,
aktivis kesetaraan jender, atau siapa pun yang kita pandang mampu membantu
untuk memandu pelatihan dan diskusi yang kita adakan bersama.
2 Bukan urusan cewek semata
Kita harus membangun pemahaman dan
pendekatan baru bahwa ini juga menyangkut cowok. Tidak mungkin akan terjadi
perubahan jika cowok tidak terlibat dalam usaha ini. Cewek bisa dilatih untuk
lebih aktif, berani, dan mampu mengambil keputusan, sedangkan cowok pun perlu
dilatih untuk menghormati dan menghargai kemampuan cewek dan mau bermitra untuk
maju.
3 Bicarakan
Salah satu cara untuk memulai
perubahan adalah dengan mengungkapkan hal-hal yang menimbulkan tekanan atau
diskriminasi. Cara terbaik adalah bersuara dan membicarakannya secara terbuka
dan bersahabat. Harus ada media untuk membangun dialog untuk menyepakati
cara-cara terbaik membangun relasi yang setara dan adil antarjenis kelamin.
Bukankah ini jauh lebih membahagiakan?
4 Kampanyekan
Karena ini menyangkut sistem
sosial-budaya yang besar, hasil dialog atau kesepakatan untuk perubahan yang
lebih baik harus kita kampanyekan sehingga masyarakat dapat memahami idenya dan
dapat memberikan dukungan yang dibutuhkan. Termasuk di dalamnya mengubah cara
pikir dan cara pandang masyarakat melihat “cowok” dan “cewek” dalam ukuran
“kepantasan” yang mereka pahami. Masyarakat harus memahami bahwa beberapa
sistem sosial-budaya yang merupakan produk cara berpikir sering kali enggak
berpihak, menekan, dan menghambat peluang cewek untuk memiliki kesempatan yang
sama dengan cowok. Jadi ini memang soal mengubah cara pikir.
5 Terapkan dalam kehidupan sehari-hari
Tidak ada cara terbaik untuk
merealisasikan kondisi yang lebih baik selain menerapkan pola relasi yang
setara dalam kehidupan kita masing-masing. Tentu saja semua harus dimulai dari
diri kita sendiri, lalu kemudian kita dorong orang terdekat kita untuk
menerapkannya. Mudah-mudahan dampaknya akan lebih meluas.
C. Contoh Kasus
Kekerasan
Terhadap Perempuan Bukti Diskriminasi Gender
Maraknya isu “Kekerasan terhadap perempuan”, menjadi rangkaian
kosakata yang cukup populer dalam beberapa tahun belakangan ini, telah memasuki
wilayah yang paling kecil dan eksklusif, yaitu keluarga.
Sangat ironis, di tengah-tengah masyarakat yang katanya ‘modern’, karena
dibangun di atas prinsip rasionalitas, demokrasi, dan humanisme—yang secara
teori seharusnya mampu menekan tindak kekerasan—justru budaya kekerasan semakin
menjadi fenomena yang tidak terpisahkan. Dewasa ini kita menyaksikan
dengan jelas munculnya berbagai tindak kriminalitas, kerusuhan, kerusakan
moral, pemerkosaan, penganiayaan, pelecehan seksual, dan lain-lain yang
keseluruhannya adalah wadah budaya kekerasan. Di AS sendiri yang konon Negara
pengusung HAM, justru menunjukan laporan yang cukup mengejutkan. Andrew L.
Sapiro dalm bukunya berjudul Amerika NO.1 menyebutkan “Kita no.1 dalam kasus
pemerkosaanyaitu 114 per100 ribu penduduk.” Departemen Kehakiman AS sampai
akhir 1992 menyebutkan bahwa 20% pemerkosa adalah bapaknya sendiri, 26% orang
dekatnya, 51% orang yang dikenalnya, 4% orang yang tidak dikenalnya. Ini fakta
tahun 1992, bagaimana dengan sekarang? Senada dengan kondisi di Indonesia,
Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan meningkat terus
dari tahun ke tahun. Catatan tahun 2004, misalnya, menyebut 5.934 kasus
kekerasan menimpa perempuan. Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2001
(3.169 kasus) dan tahun 2002 (5.163 kasus). Angka ini merupakan peristiwa yang
berhasil dilaporkan atau di-monitoring. Dari keseluruhan 5.934 kasus kekerasan
terhadap perempuan, 2.703 adalah kasus KDRT. Tercakup dalam kategori ini adalah
kekerasan terhadap istri sebanyak 2.025 kasus (75%), kekerasan terhadap anak
perempuan 389 kasus (10% ), dan kekerasan terhadap keluarga lainnya 23 kasus
(1%). Pelaku umumnya adalah orang yang mempunyai hubungan dekat dengan korban
seperti suami, pacar, ayah, kakek, dan paman.
Tanggal 25
November, masyarakat dunia memperingati hari internasional Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan. Hari itu merupakan momen untuk menguatkan gerakan
solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan
pelanggaran HAM.
Issue tersebut diterjemahkan dengan cepat oleh pemerintah Indonesia
dengan menggagas ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tagga’ melalui UU No. 23
tahun 2004, yang disandarkan pada Deklarasi PBB tentang ‘Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan’ (20 Desember 1998). Terakhir, pada Konferensi Perempuan
Internasional di New York, ditandatangani Konvensi Internasional tentang Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan (awal Maret 2000).
Menurut kacamata feminis, kekerasan terhadap perempuan—yang mereka
bahasakan dengan kekerasan berbasis jender—merupakan hasil bentukan interaksi
social yang terjadi dalam masyarakat patriarki (sistem yang didominasi dan
dikuasai oleh laki-laki). Menurut mereka, di Indonesia secara histories sudah
mengusung pelembagaan kekerasan jender sejak dulu masa kerajaan, yaitu dengan
berlakunya norma kepatuhan dan komoditi di tengah-tengah masyarakat (Jurnal
Perempuan, ed. 09).
Keadaan-keadaan inilah yang mereka anggap semakin memperkokoh
ketidakadilan sistemik terhadap perempuan. Apalagi kebijakan pembangunan
dalam seluruh aspeknya selama ini lebih banyak memihak kepada laki-laki. Adapun
kebijakan yang berkenaan dengan perempuan cenderung mengarah pada pemberdayaan
perempuan sebagai ibu dan istri saja. Akhirnya, posisi perempuan semakin
terpinggirkan, terutama dalam hak-hak sosial, ekonomi dan politik; mereka
selalu menjadi orang nomor dua setelah laki-laki, baik dalam sektor privat
(keluarga) maupun publik (masyarakat). Kondisi ini sering berujung pada
penuduhan terhadap Islam yang dianggap lebih memihak laki-laki dan bersifat
misoginis (membenci perempuan).
Inilah yang, menurut mereka, menjadi penyebab maraknya kekerasan terhadap
perempuan, termasuk dalam rumah tangga. Mereka bahkan menuduh norma agama
khususnya Islam turut mendukung langgengnya budaya kekerasan terhadap
perempuan, termasuk KDRT, seperti hukum Islam seputar kebolehan seorang suami
berpoligami, wajibnya seorang istri meminta izin suami ketika keluar rumah,
kebolehan suami memukul istrinya ketika ia nusyûz, atau keharusan seorang istri
melayani suaminya ketika ia menginginkannya, dan lain-lain.
Perlu dipahami
bahwa kejahatan atau kekerasan tidak ada kaitannya dengan masalah jender
(perbedaan jenis kelamin), karena kekerasan tidak hanya menimpa kaum perempuan,
tetapi juga menimpa kaum laki-laki, baik di dalam ataupun di luar rumah tangga.
Pandangan bahwa kekerasan terkait dengan jender adalah pandangan yang sangat
keliru. Ia hanyalah pandangan kaum feminis yang mengukur kejahatan berdasarkan
jender, pelaku dan obyeknya. Mereka membela pelacuran ketika perempuan menjadi
korban (padahal pelacuran merupakan tindak kejahatan). Mereka pun mencap
poligami sebagai bagian dari KDRT karena pihak yang menjadi korban pun—menurut
mereka—adalah perempuan. Padahal jika kita mau jujur, jelas sekali bahwa
maraknya kekerasan terhadap perempuan atau KDRT merupakan cerminan dari
gagalnya bangunan sosial-politik yang didasarkan pada ideologi
sekularis-kapitalis ini. Munculnya banyak kasus kekerasan terhadap perempuan
maupun KDRT adalah karena tidak adanya perlindungan oleh negara, masyarakat,
maupun keluarga. Ini adalah akibat dari tidak adanya pemahaman yang jelas
tentang hak-hak dan kewajiban negara, masyarakat, ataupun anggota keluarga
(suami-istri).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung
jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi social dan
dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Ciri-ciri gender :
- Bisa berubah
- Papat
dipertukarkan
- Tergantung musim
- Tergantung budaya
masing-masing
- Bukan kodrat
(buatan masyarakat)
Diskriminasi gender merupakan akibat dari adanya
system (struktur) social dimana salah satu jenis kelamin (laki-laki maupun
perempuan) menjadi kornban. Hal ini terjadi karena adanya keyakinan dan
pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk
dan cara yang menimpa kedua bilah pihak, walupun dalam kehidupan sehari-hari lebih
banyak dialami oleh perempuan.
Dengan mengetahui dan memahami pengertian gender
seseorang diaharapkan tidak lagi mencampuradukan pengertian kodrat dan
non-kodrati. Konstruksi social dapat terjadi karena karena pada dasarnya sikap
dan prilaku manusia dipengaruhi oleh factor internal dan eksternal, yaitu
konstruksi biologis, konstruksi social, dan konstruksi agama.
Diskriminasi gender dapat dihilangkan apabila
masyarakat memahami dan mawas diri serta berekat mengubah perilaku kea rah
responsive gender dalam setiap kegiatan. Dengan demikian, perlu adanya
kesepakatan dalam hal pembagian peran, sehingga laki-laki dan perempuan dapat
menjadi mitra yang setara dan seimbang dalam kehidupan di keluarga, masyarakat,
dan pemerintah.
B.
Saran
Untuk
tercapainya diskriminasi gender, mayarakat dapat lebih menerima dan terbuka
dengan adanya gender. masyarakat dapat memahami idenya dan dapat memberikan
dukungan yang dibutuhkan.
Seorang ayah dan ibu harus memberikan contih yang baik pada
anaknya agar anak memiliki etika yang baik.
Orang tua harus pandai memilihkan pendidikan yang tepat
untuk anaknya
Memberikan kesadaran pada anak akan pentingnya beretka baik
dalam hubungan berinteraksi sosial
Daftar
Pustaka
http://ilalang.wordpress.com/2007/05/14/kekerasan-terhadap-perempuan-bukti-diskriminasi-gender-benarkah/
- Modul PKBI Indonesia Remaja dan
Jender
- “Gender and Sexuality Studies”
FISIPOL Fak. Antropologi dan Sosiologi UI 2000
- Perspektif Gender oleh Mansur
Fakih.
- Tulisan “Gender” Asrul Yande
Tidak ada komentar:
Posting Komentar